Izzah’s Journey #1: Matahari Terbenam di Kubah Hijau

naizzah
7 min readMar 2, 2024

Jadi, disini saya membuat bagian khusus berisi cerita perjalanan yang punya arti tersendiri bagi hidup saya dan ingin berbagi pengalaman seputar ciri khas dari tempat-tempat yang saya kunjungi, mulai dari orang-orangnya, makanan, lingkungannya dan lain-lain. Saya cuma ingin mempunyai ruang tersendiri all about “my traveling”, yang tentunya tidak saya bagikan di instagram maupun X (ya tipis-tipislah di X). Dan ini juga salah satu bentuk memori selain foto dan video yang pasti saya baca lagi di kemudian hari untuk mengenang. Enjoy! Oiya, sebenarnya tulisan ini sudah mengendap setahun lebih di draft. Sebelumnya saya sudah pernah menulis singkat tentang perjalanan ini. Iya, ini tentang umrah pertama kami.

Terbukanya kubah dekat pintu 25 (Utsman bin Affan) setelah sholat dhuhur. Kubah ini dibuka 3 kali sehari selama 30 menit. Tujuannya untuk mengatur sirkulasi udara dan penerangan dalam Masjid Nabawi.

Panggilan dari Allah SWT. untuk pergi ke tanah suci memang misterius.
Ada yang punya rezeki cukup, badan sehat, tapi tidak punya waktu luang.
Ada yang punya badan sehat, waktu yang luang, tapi rezeki belum mencukupi.
Ada yang rezeki sudah mencukupi, punya waktu luang, tapi kondisi badan belum memungkinkan.
Tapi ada juga yang rezeki cukup, badan sehat, waktu luang, tapi belum merasa ‘terpanggil’.
Saya sendiri?
Saat itu, alhamdullilah saya sudah dimampukan, dihadapkan oleh banyak runtutan peristiwa yang membuat saya, ibu, dan adik akhirnya memutuskan untuk pergi umroh. Sangat pas-pasan kondisinya. Semenjak ditinggal oleh alm. Ayah, saya sangat sadar bahwa kehidupan di dunia sesingkat itu, besar sekali keinginan kami untuk pergi ibadah yang sangat luar biasa, it’s no regret sacrificing a lot of things, insya Allah, you will get a ton of sustanance.

Masjid Nabawi berada tepat di hadapan saya malam itu, menyambut rombongan yang kelelahan usai penerbangan panjang. Mungkin ego saya masih terlalu besar hingga tak setetespun air mata yang keluar. Masih dengan perasaan campur aduk antara rasa tidak percaya melangkahkan kaki di depan masjid yang video buka-tutup payungnya cuma bisa saya lihat dari YouTube, dan mengagumi kemegahan bangunan masjid. Beruntungnya, hanya beberapa langkah dari depan hotel, Masjid Nabawi sudah di depan mata. Tips buat yang akan kesini: ingat-ingat nomor pintu masjid yang terdekat dengan hotel kalian. Karena masjid Nabawi ini luasnya luar biasa!

Kubah berwarna hijau ini menandakan lokasi Nabi Muhammad SAW dimakamkan.

Keesokan paginya saya bangun sebelum Subuh dan bergegas menuju masjid untuk menunaikan Tahajud, menunaikan sunnah-sunnah yang lain, dan dilanjut sholat Subuh. Dan waktu itu pertama kalinya saya menangis, campur aduk rasanya. Kalau saya bisa bilang, Madinah ini benar-benar damai, orang-orang datang dari tempat yang dekat dan jauh untuk tujuan yang sama. Saya belum pernah melihat begitu banyak kebangsaan berbeda di bawah satu atap, dan itu sangat-sangat mengagumkan. Semua orang sangat baik disini.

Hari-hari di Madinah kami isi dengan beribadah, rugi dah kalo kesini masih bawa-bawa kerjaan. Di area masjid Nabawi, para peziarah nampak sangat ramai. Apalagi jika kita berada di area karpet hijau, Rawdhah. Area yang disebut-sebut sebagai taman surga. Tempat diantara makam dan mimbar rasul. Di area ini para askar mengatur para jamaah yang masuk. Sistem buka tutup pun diterapkan. Jadi, kita tak bisa berlama-lama beribadah di dalam sini, maksimal 5 menit kayanya, kita juga harus memikirkan saudara kita dari segala penjuru dunia yang juga mau berdoa di rawdhah. Askar-askar ini selalu berteriak, “Hajj, Hajjah, Hajj, Hajjah!” kepada para pengunjung, ya tentunya sebagai peringatan untuk selalu tertib di area masjid.

Waktu itu, selepas sholat Ashar saya sengaja untuk tidak balik ke hotel. Saya penasaran bagaimana perasaan ini menikmati sore hari yang dingin di halaman masjid Nabawi, sambil termangu melihat tenggelamnya matahari secara perlahan dengan memancarkan rona merahnya ke langit, dan yang paling penting adalah melihat proses kuncupnya payung-payung di halaman masjid. Indah banget ya Allah... Tapi disamping keindahan itu, pasti ada hal yang dikorbankan. Sholat Maghrib dan Isya' di luar masjid yang saat itu suhunya sekitar 13° cukup membuat wajah saya kaku. Oiya, setiap sehabis solat fardu di Masjid Nabawi ini selalu diadakan sholat Jenazah. Katanya, sebuah kebanggan bila wafat, disholatkan, dan dimakamkan di Madinah ini.

Suasana senja di luar Masjid Nabawi.

Buat yang mau makan Al-Baik, gerai fast food Arab yang terkenal dengan ayam gorengnya ini ada di dekat pintu keluar yang dekat pemakaman Baqi’. Jalannya agak lumayan jauh tapi masih bisa dicapai dengan berjalan kaki sih. Sekitar 15 menit berjalan saja. Ayamnya memang gurih dan sangat juicy. Dan yang paling penting adalah murah! Paket 5 buah ayam dengan kentang dan roti dihargai 13 riyal (sekitar 54 ribu rupiah). Apalagi saus bawang putihnya legend banget! Cuma ya antrinya yang harus sabar. Apalagi orang-orang arab ini budaya antrinya lebih parah dari di Indonesia kalau yang saya lihat di dalam Al Baik haha!

Kota Madinah di luar area masjid Nabawi sangat sepi. Rasanya tenang dan damai. Waktu itu saya bulan Januari 2023 di sini. Suhu pernah mencapai 8 derajat. Dingin namun masih nyaman, asal pakai gamis 3 lapis dan kaos kaki. Angin bertiup sepoi-sepoi, enak sekali kalau berjalan-jalan pagi dan sore hari. Yang paling saya suka dari Masjid Nabawi adalah air zam-zam yang melimpah. Galon-galon dan gelas tersedia di tiap sudut masjid. Sayangnya air zam-zam di sini dingin. Kalau kamu tidak suka dingin, cari galon yang ada tulisan ‘not cold’.

Tidak perlu khawatir kehausan jika berlama-lama di dalam masjid, galon air zam-zam dan gelasnya banyak tersebar di setiap sudutnya.

Selepas salat Isya’ terakhir saya di Madinah, saya dan beberapa tetangga kamar berjalan menuju food court dekat Masjid Nabawi di bawah cahaya purnama di awal Bulan Rajab. Rasanya syahdu sekali, meski saya sedih karena itu adalah malam terakhir di kota Madinah. Berbeda dengan jalur biasanya, malam itu kami keluar masjid dari depan Gate King Fahd. Gate King Fahd juga dikenal sebagai Bab al-Malik Fahad (باب الملك فهد), adalah pintu masuk utama Masjid Nabawi. Ini adalah gerbang terbesar dari masjid dan satu-satunya gerbang yang memiliki dua menara dan tujuh pintu. Gerbang ini diatapi oleh lima kubah. Menara yang mengapit gerbang adalah dua dari enam menara tertinggi yang dipasang selama perluasan kedua. Menarik sekali area pedestrian depan masjid Nabawi ini, sebab di kiri kanan berdiri hotel-hotel kelas menengah hingga mewah. Jalannya lebar banget dengan penerangan super heboh dan tentunya sangat nyaman untuk berjalan meski malam itu padat sekali.

Selain hotel, kami juga menemui deretan ruko-ruko yang menjual aneka souvenir kelas menengah. Jadi bukan yang receh-receh gitu, semacam official merchendaise. Di tengah jalan juga ada beberapa spot foto berbagai bentuk seperti sayap burung maupun kotak bingkai (ini ikonik banget) dengan background masjid Nabawi. Fotografer dengan kamera profesional siap mengabadikan para jamaah umroh atau haji.

Sebenarnya tujuan saya adalah mau makan malam sembari menatap langit dan Jabal Uhud. Tapi ternyata pilihan gerainya banyak banget, dan karena saya datang usai sholat maka antrean dimana-mana mengular. Gerai-gerai makanan dekat masjid Nabawi di sebelah kanan jalan sangat tertata rapi dengan bentuk bangunan sejenis dan label nama seperti “Turkish Food” - “Italian Food” dan lain sebagainya. Sejauh yang saya amati malam itu yang paling panjang antreanya adalah Italian Food. Ibu saya menemukan kedai Hijaz yang antreannya tidak begitu panjang, oke mari pesan makan karena sudah lapar sekali.

Jejeran gerai-gerai makanan dari berbagai penjuru dunia yang sudah diserbu oleh para jamaah.

Hijaz itu adalah wilayah sebelah barat Arab Saudi, secara harfiah artinya ‘batas’ yang mana membatasi daratan Arab dengan laut merah. Pada akhir khilafah (kekhalifahan) Abbasiyah, Hijaz berada di bawah kekuasaan pemerintah Mesir. Pada 1517 Hijaz jatuh ke tangan khilafah Usmani (Ottoman). Jadi, tak heran jika yang tersedia ternyata adalah hidangan-hidangan mesir. Selama menunggu pesanan di bangku kecil, saya mengobrol dengan mba-mba yang bahasa Inggrisnya pakai aksen Arab, agak kurang nyambung sebenarnya, tapi saya bisa mengerti waktu dia bilang menu favorit di sini adalah martabak mesir atau mutabaq. Sip, pesan. Ternyata rasanya mirip dengan martabak indonesia dengan rasa rempah yang lebih kuat, hanya saja ini tidak memakai cocolan saus sambal. Yang ada hanya cabai hijau besar yang sangat tidak terasa pedas-pedasnya.

Selain mutabaq, saya penasaran mencoba teh susu alias milk tea disini. Ini tidak sesuai ekspektasi sih, karena judulnya ‘Milk Tea’ ternyata teh rempah, dan di luar ekpektasi juga ternyata aku suka banget! Bahkan beli versi sachetnya waktu di Mekkah dan beli lagi di Indonesia di toko online. Bayangin saja lagi dingin-dinginnya udara Madinah, minum teh susu dengan tambahan cengkeh dan kapulaga, ANGET BANGET di perut dan hati! Karena food court di sini kebanyakan bentuk dan ukurannya kecil, jadi banyak pembeli yang menyantap makanan di bangku-bangku yang sudah tersedia di pedestrian berlangitkan rembulan. Ada api-api estetik juga yang menambah kesyahduan.

Oke, mungkin itu saja secuil dari sekian keseruan saya di Madinah. Intinya, semua yang kami lakukan di Madinah maupun di Mekkah, adalah kenangan yang sangat menyenangkan, it is the best healing place so far. May Allah grant us mercy, abundant sustance, and prosperity. May Allah give us another chance to be there ❤️

--

--

naizzah

Thank you for visiting my profile! Enjoy reading ❤️