Greenflation dan Bukan Tetek Bengeknya

naizzah
6 min readJan 28, 2024
Photo by Federico Beccari on Unsplash

Beberapa hari terakhir, masyarakat Indonesia dihebohkan dengan istilah "Greenflation". Istilah ini sebelumnya disinggung oleh calon wakil presiden nomor 2 Gibran Rakabuming Raka dalam Debat Cawapres yang digelar pada Minggu, 21 Januari 2024 lalu dengan tema seputar pembangunan berkelanjutan, sumber daya alam, lingkungan hidup, energi, pangan, agraria, masyarakat adat dan desa. Mungkin orang-orang dengan latar belakang di bidang ekonomi sudah mengenal bahkan mengerti dengan istilah tersebut.

Saya sendiri cukup terkejut istilah greenflation dilontarkan oleh salah satu cawapres dalam debat. Karena saya pikir fenomena greenflation di Indonesia masih menjadi isu yang jauuhh, dan sepertinya akan sedikit impactnya bagi Indonesia. Sesi debat tersebut cukup membuat kepikiran dan akhirnya saya, yang masih belia berkecimpung di dunia energi terbarukan dan sumber daya alam ini, memutuskan untuk membuat tulisan seputar greenflation. Semoga bermanfaat bagi pembaca. Dan kali ini saya membahasnya berdasarkan fenomena global ya.

Energy Storage

Jadi, selama pandemi covid-19 berlangsung, tepatnya sekitar tahun 2021, berita-berita global didominasi oleh cerita tentang makin berkurangnya simpanan energi, terutama di Cina dan Eropa. Cina pernah mengalami pemadaman listrik selama setahun, harga listrik dan gas di Eropa mengalami kenaikan drastis. Bahkan pada saat itu beberapa pengamat berpendapat bahwa krisis di Eropa itu mungkin bisa menjadi pertanda kesulitan energi masa depan seluruh dunia.

Kekurangan energi di Eropa membuat pemerintah memperingatkan akan terjadinya "Blackout" dan pabrik-pabrik terpaksa ditutup. Mereka yang sumber energi listriknya mengandalkan gas alam, terpaksa harus berhemat untuk memanfaatkan cadangan energi yang makin menipis. Tapi sayangnya, masa-masa itu pasokan gas alam tidak cukup untuk memenuhi permintaan. Apalagi di saat yang bersamaan, belahan bumi utara memasuki musim dingin, sehingga akan membutuhkan listrik untuk kebutuhan sehari-hari masyarakatnya, misal untuk pemanas ruangan.

Selain itu, Brasil yang sangat mengandalkan pembangkit listrik tenaga air (PLTA), mengalami kekeringan terburuk, sehingga terpaksa untuk mengimpor gas alam untuk memenuhi kebutuhan listrik negara dan tentunya berefek pada tagihan listrik negara tersebut naik.

Di sisi lain, pada saat itu harga gas alam di US masih tergolong rendah, karena US tidak hanya memiliki stok gas alam yang berlebih (untuk memenuhi permintaan domestik), tapi juga tidak memiliki infrastruktur yang memadai untuk mengekspor gas alam tersebut untuk memenuhi permintaan internasional (ditambah lagi akibat pandemi, kegiatan ekspor impor terhambat). Jadi, sebagian besar sumber daya tersebut berada di dalam negeri.

Nuclear and natural gas still dominate as electrical energy sources in Europe.

Seperti yang kita semua ketahui, efek dari dorongan global untuk berhenti menggunakan sumber energi fosil dan beralih ke sumber energi hijau, beberapa negara besar dunia memulai, bahkan telah menjalankan kebijakan pembangunan rendah karbon. Jerman sendiri telah menutup 3 pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) yang sudah beroperasi selama 6 dekade, karena selain berusaha beralih ke energi terbarukan, pemerintah sering didemo oleh masyarakat karena dinilai tidak ramah lingkungan dan kekhawatiran akan bencana nuklir. Di Inggris, 2 pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batubara ditutup. Sementara itu, produksi gas alam di Eropa terus mengalami penurunan.

Jika peristiwa-peristiwa tersebut terus berlanjut, dapat menyebabkan kenaikan pada harga minyak dalam waktu dekat karena pemulihan ekonomi pasca pandemi untuk memenuhi permintaan yang terus naik sebagai pasokan baru dan energi terbarukan yang belum cukup sebagai jawaban untuk mengatasi kelemahan tersebut. Tentu saja, semakin tinggi harga minyak, semakin masuk akal secara finansial untuk berinvestasi dalam produksi energi terbarukan. Pemerintah dan konsumen mengalihkan minat mereka terhadap sumber energi hijau. Hal ini didorong tidak hanya oleh perubahan selera konsumen, tetapi juga oleh peraturan pemerintah. Peningkatan permintaan ini (produk-produk berkelanjutan) dikombinasikan dengan adanya supply chain disruptions (intinya, semua peristiwa yang menyebabkan gangguan dalam produksi, penjualan, dan distribusi produk) akibat covid-19 yang pada saat itu sedang berlangsung, sehingga berakibat pada kenaikan harga "green goods" di berbagai sektor, seperti protein nabati, makanan non daging, bahan baku yang dibutuhkan untuk baterai, kabel pada kendaraan listrik.

Green Premium

Sebenarnya, pengertian greenflation digambarkan dalam bukunya Bill Gates dengan judul How to Avoid A Climate Disaster (2021) sebagai green premium, yaitu perbedaan biaya antara produk yang mengakibatkan emisi karbon dan yang tidak (green goods). Ya simpelnya, belanja bahan-bahan organik itu lebih mahal daripada bahan-bahan non-organik, dan selanjutnya konsumsi bahan-bahan organik akan dimandatkan sebagai kewajiban. Lonjakan harga energi, seperti yang dibahas sebelumnya, akan terus berlanjut. Biaya energi masuk ke hampir setiap produk yang kita beli. Contohnya di Eropa, tingginya harga gas alam pada saat itu telah memaksa produsen pupuk untuk mengurangi produksinya. Akibatnya harga pupuk naik, hasil pertanian menurun, yang berpotensi menambah inflasi pangan global.

Greenflation

Dua logam terpenting untuk green electrification adalah tembaga dan aluminium. Teknologi terbarukan membutuhkan lebih banyak kabel daripada teknologi dengan bahan bakar fosil. Pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atau angin (PLTB) menggunakan tembaga 5 kali lebih banyak daripada pembangkit listrik berbahan bakar fosil, sehingga permintaan tembaga makin naik. Hal ini berefek pada melambungnya harga tembaga lebih dari 60% pada tahun 2021. Sementara permintaan meningkat, investasi dalam produksi logam ini berkurang karena masalah ESG (Environmental, Social, Governance). Padahal produksi PLTS dan PLTB tidak akan berjalan bila kekurangan bahan tembaga dan aluminium.

Permasalahan yang kita lihat di dunia saat ini yang sedang fokus pada gerakan menuju teknologi ramah lingkungan, itu jauh lebih kompleks daripada yang terlihat saat pertama kali gerakan green energy dicanangkan. IEA (International Energy Agency) sendiri telah memperingatkan tentang adanya ketidaksesuaian yang besar antara kondisi iklim saat ini dan ketersediaan mineral-mineral penting, seperti nikel (yaAllah inget hilirisasi), litium, tembaga, dan kobalt. Ditambah lagi, biaya pengiriman barang-barang ini dapat diperkirakan akan meningkat sejalan dengan harga energi.

Menghapus batubara, minyak, dan gas harus secara bertahap, apabila langsung menggantinya dengan energi terbarukan akan menghabiskan biaya yang sangat tinggi. Meluncurkan kendaraan listrik dan infrastruktur pengisian dayanya secara masif itu akan mahal, memasang pembangkit dan jaringan listrik yang dapat memenuhi persyaratan energi hijau itu juga akan mahal (sebenarnya akan lebih murah jika dibandingkan dengan bahan bakar fosil sebab sumber energinya baru dan terbarukan, hanya saja butuh investasi besar di awal serta butuh beberapa tahun untuk balik modal dan merasakan hasilnya secara stabil). Jadi, singkatnya greenflation pasti melibatkan barang-barang maupun aktivitas keseharian kita. Ketika dorongan global menekankan aksi iklim dan dekarbonisasi, produsen tidak banyak pilihan selain mengubah "cara" membuat barang dan jenis barang. Mungkin hambatan teknisnya pada harga produksi barang-barang tersebut yang lebih besar, kaca yang diproduksi menggunakan energi terbarukan diperkirakan berharga 20% lebih tinggi, baja hingga 30%.

Gilets Jaunes

Photo by The Economist

Demo Gilets Jaunes (demo rompi kuning) 2018 di Prancis ini menunjukkan bahwa greenflation menghantam orang-orang menengah ke bawah, dilakukan atas kenaikan harga bahan bakar fosil. Pemerintah Prancis meningkatkan pajak pada bahan bakar minyak, mereka menekan masyarakat untuk menggunakan energi hijau. Transisi energi dilakukan sangat agresif oleh pemerintah, sehingga tidak semua lapisan masyarakat siap menghadapi harga bahan yang mengalami kenaikan.

Jadi, transisi energi memang merupakan hal yang rumit, tidak merata, harus dilaksanakan secara halus, dengan melihat kesiapan masyarakat, daya beli, dan kesiapan infrastruktur. Dan yang ingin saya tekankan di sini, greenflation tidak selalu terjadi, tergantung dari kebijakan-kebijakan pemerintah (insentif dan disinsentif) untuk menghindarinya. Di Indonesia sendiri, saat ini, harga bahan bakar fosil jauh lebih bersaing, harganya masih di bawah, juga ada subsidi pemerintah contohnya pada pertalite, solar, batubara. Disini saya sebagai orang dengan latar belakang geomatika, mengerjakan isu terkait transisi energi, membuat pemodelan sedemikian rupa dengan variabel yang lebih kompleks, tidak hanya potensi daya yang dihasilkan, terkait faktor sosial-ekonomi seperti urban-rural size, household income, access to modern fuels, priority areas for green energy, energy distribution, etc. Ya intinya semoga greenflation tidak terjadi di Indonesia, gapapa transisi energinya pelan-pelan aja. Toh Eropa sekarang sudah lepas dari kelangkaan energi, jadi kemungkinan adanya inflasi energi global makin kecil. Dan harapan saya, semoga kedepannya pemerintah Indonesia sangat memperhatikan faktor lingkungan hidup dan masyarakat sekitar dalam semua pengambilan kebijakan.

--

--

naizzah

Thank you for visiting my profile! Enjoy reading ❤️